Belajar Corporate Culture dari Kaltim Industrial Estate
by Made Teddy Artiana, S. Kom
photographer & writer
Motret untuk sebuah company profile, tentunya pengalaman yang berbeda dengan motret wedding. Motret company profile, kita mau tidak mau akan berurusan dengan berbagai prosedur dan birokrasi, apalagi instansi pemerintah. Mahluk bernama ‘birokrasi’ aneh kalau nggak ada. Belum lagi mahluk lain bernama arogansi kekuasaan, yang kadang bisa terasa dingin sedingin kulkas lima pintu. Namanya juga perusahaan, harap maklum, begitu kata orang menghibur diri. Tetapi pengalaman ku kali ini bertutur sama sekali lain. Sama-sama company profile, sama-sama birokrasi dan sama-sama berurusan dengan kekuasaan dan para petinggi, namun amat sangat berbeda. Bak ikan walaupun hidup di laut, belum tentu rasanya sama.
KIE (Kaltim Industrial Estate) sebuah perusahaan pengelola lingkungan industri yang juga merupakan anak perusahaan Pupuk Kaltim di daerah Bontang Kalimantan Timur, mengundang kami untuk pengambilan foto company profile perusahaan mereka. Semula –kalau boleh jujur- aku membayangkan akan bertemu kekakuan birokrasi, dinginnya kekuasaan dan mahluk-mahluk sejenis. Tetapi disini binatang-binatang itu seolah tidak hidup. Pengambilan foto di sana tak ubahnya bagaikan pergi berlibur dan bertemu dengan teman lama. Bukan hanya karena Astrie, salah seorang staff KIE, mentraktir kami, kepiting-kepiting lezat, sebesar kepala yang lezat bukan kepalang. Bukan juga semata-mata karena Mara, maskot KIE.(sorry ya Mar..becanda J), mengajak kami ke Bontang Kuala dengan kayu-kayunya yang unik, bukan pula karena ternyata yang namanya orang Jawa adalah mayoritas disana dan pendeknya bukan karena segala yang berurusan dengan perut dan mata – yang tidak disangkal memang penting juga- tetapi justru karena bertemu dengan manusia-manusia hangat, bersahabat namun profesional, yang membuat jiwa ini mendapat makanan sepuasnya. Semangat friendship sekaligus profesional seolah mengalir deras didenyut perusahaan itu. Direktur makan semeja dengan staff biasa, bahkan menyantap menu yang sama, tanpa membuat bawahan kehilangan rasa hormat pada atasannya. Gurauan-gurauan segar mengalir alamiah, tanpa merusak semangat kerja dan target pencapaian yang ditetapkan perusahaan. Petinggi-petinggi yang cerdas terlihat sukses memanage, tanpa harus memasang ‘taring menyeramkan’ berlabel kekuasaan, hanya untuk sebuah pengaruh. Bahkan dalam sebuah sessi foto kami sempat berkunjung kesalahseorang komisaris KIE di ruangan kantor beliau. Disinipun kami menjumpai penerimaan yang cukup ramah yang agaknya susah didapat dari seorang komisaris sebuah perusahaan besar.
Demikian juga untuk issue pengamanan dan standard safety, sepertinya tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Satu hal yang membuat kami terheran-heran adalah ketika menyaksikan situasi jalanan, pabrik, environment bahkan keadaan mobil kantor (Mas Ali..sang driver yang luar biasa) yang teratur rapi dan amat sangat bersih. Sepertinya mata kita akan susah untuk menemukan sampah teronggok liar ditepi jalanan. Nggak usah jauh-jauh. Cobalah berkunjung ke kantin mereka yang bersih, kita akan merasakan masakan rumah yang enak dan nyaman. Bahkan pada saat masuk ruangan kantor mereka, aku pribadi sempat terheran-heran menyaksikan kebersihan dan keteraturan yang kami temui. Tidak ada selentingan bau rokok atau debu yang menyelinap masuk kelubang hidung. Mejapun berantakan sewajarnya, sebagaimana layaknya meja kerja kita-kita. Pengaturan ruangan meeting yang mengesankan. Nyaris ideal. Memang bukan hal yang mudah tentunya, tetapi bukan mustahil. Siapapun yang mempunyai sepasang mata dan segumpal otak kepala yang bekerja normal, akan sepakat, bahwa semuanya itu tidak jatuh dari langit, laksana Mr. Bean, tetapi merupakan usaha terus menerus yang tentunya membutuhkan leadership yang kuat, dan juga teamwork yang hebat. Dan sepertinya –tanpa kesan melebih-lebihkan- KIE memilikinya. Dan sepertinya –tanpa bermaksud menakut-nakuti- KIE punya tugas berat mempertahankannya.
Diluar itu semua, ada sebuah pengalaman menggelikan yang terjadi pada waktu pemotretan berlangsung. Sebelum pemotretan kami dipanggil oleh salah seorang manajer disana. Beliau menerangkan berbagai hal yang amat sangat perlu kami perhatikan, jika kami berada disebuah lingkungan industri. Singkatnya ada 2 hal yang perlu kami perhatikan, yang pertama : bencana industri, kedua..ini yang tidak kalah menyeramkan dari yang pertama…adalah “buaya”. Begitu nama hewan reptil itu disebut, sang manajer tersenyum penuh arti. “Yang saya maksud adalah buaya…sebenar-benarnya”, kata beliau menegaskan. Glek. Darah ku seakan berhenti mengalir sesaat. Buaya beneran !!! Kini ganti aku dan team yang tersenyum. Tersenyum kecut. Sementara beliau tertawa terbahak-bahak. Induction selesai dan kamipun mulai bertugas. Jujur pada saat itu yang berada dikepalaku hanya lima huruf : b-u-a-y-a. Terlebih pada saat menijau sebuah proyek yang sedang dikerjakan oleh KIE. Mesin-mesin besar tampak menggaruk-garuk tanah. Sementara beberapa truk-truk silih berganti mengangkut tanah itu bergantian. Ban-ban mereka yang besar dan bergigi meninggalkan guratan-guratan ditanah yang bergelombang kecoklatan. Ketika sedang asyik memotret tiba-tiba mataku terarah ke motif guratan-guratan tanah itu, dan khayalanku tentang buayapun datang menguat. Bagaimana jika seandainya diantara tanah-tanah itu ‘nyempil’ sosok kasar berbuntut itu. Nggak usah banyak..satu aja.Grrrrr mengerikan. Jujur, kalau saja saat itu aku tidak ditemani Pak Lulut, personnel KIE yang sabar dan tak kenal lelah mengantarku keberbagai lokasi, sudah dapat dipastikan aku akan secepat mungkin memotret lokasi ini dan langsung melesat ketempat lain. Yang lucu ketika aku melintas disebuah jembatan, di lokasi pengapalan. Seorang crew ku yang berada di ujung jembatan itu tiba-tiba berteriak histeris dari kejauhan, sambil menunjuk-nunjuk kearah bawah. Suaranya yang tidak jelas karena jarak kami berdua cukup jauh, disamping masker yang menutupi mulut kami, membuat aku –yang kebetulan berada persis ditengah jembatan panik setengah mati. Ya Tuhan..buaya !! Memang, kontan yang terlintas dikepalaku waktu itu hanya satu. Tanpa menunggu hitungan kedua, apalagi ketiga, aku ngibrit menghampiri dia, mencopot masker diwajahku sambil terengah-engah, bertanya apa yang ia lihat. Dengan heboh crew ku – yang kebetulan orang tuanya adalah pedagang ikan di Muara Karang- menunjuk kearah bawah jembatan, sambil berteriak dengan mata berbinar-binar…”Mas…itu Mas coba lihat…dibawah….ada ikan kembung…banyak sekali..gemuk-gemuk !!!!!”. Aku hanya bisa melongo menyaksikan tingkahnya “Geblek! Kirain buaya…nggak tahunya cuman ikan kembung.” Gerutuku jengkel.
(Terima kasih banyak untuk Pak Dono, Pak Wawan ”Ketawanya..he..he..”, Pak Richard “Jasnya…marahin Astri Pak..”, Pak Harsono & Pak Hardito “senyumnya model banget”, Pak Benny “hati-hati buaya”, Haris Bank Mandiri “kapan kita masuk hutan”, Astrie “orang hamil jangan nyetir sendiri ya..”, Pak Lulut “Sepatunya bikin leceet kaki boss”, Mara “Jomblo”, Ali ”terasi pilihan elu mantap”, Mbah Darmo, Pak Sueb “Sang Penerobos”, Masni “semoga jangan ketemu waktu delay lagiiii”,..dan semua..semua..semua….)
...............sebuah kritik untuk Mandala Airlines yang membiarkan kami dan para penumpang lain di Balikpapan 23 oktober 2008, terlantar menunggu dari jam 12.00 hingga jam 17.30.....................
Benar-benar bukan sebuah prestasi untuk nama besar Mandala Airlines
Semoga Mandala Airlines memperbaiki diri...
***
Jumat, 05 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar